Pages

Minggu, 28 Oktober 2012

Romansa Biru
Ku titipkan sebentuk Hati kecilku kepada seseorang yang jauh disana. Aku berharap dia mampu menjaga Hati itu. Menjadi pelita ketika Hati itu merasa gelap, memeluk Hati itu ketika ia kedinginan, menjadi penunjuk jalan ketika Hati itu tersesat, menjadi penasihat ketika Hati itu gelisah, dan menjadi sandaran ketika Hati itu lelah. Sebentuk Hati kecil yang rapuh, yang seringkali merasa tidak berdaya ketika harus dihadapkan pada sebuah pilihan. Aku tak cukup kuat untuk menjaga Hati itu sendirian, namun seseorang itu pun juga tak mampu bertahan untuk bersamaku menjaga Hati itu. Sebuah tragedi klasik yang malah justru menghancurkan Hati itu menjadi berkeping – keping. Sebuah kenyataan yang menyakitkan, kejujuran yang menyesakkan, menggoyahkan kepercayaan dan menodai arti sebuah kesetiaan.

Kini Hati itu berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Hati itu merasa galau. Hati itu merasa merindu. Hati itu kesepian. Hati itu masih berharap. Berharap pada sesuatu yang tidak bisa direncana. Berharap pada seseorang yang telah meninggalkan Hati itu dan menjauh pergi. Seseorang yang sampai saat ini tidak mengerti dan tidak mau mengerti tentang Hati itu. Aku menyebut seseorang itu sebagai ‘Pelangi’. Pelangi itu tidak pernah terlihat ketika Hati itu sangat merindukan keindahannya. Pelangi itu hanya dapat dinikmati sesaat saja. Pelangi itu terlalu mustahil untuk dapat dimiliki kembali oleh Hati itu. Pelangiku, Pelangi yang terlalu jauh untukku sentuh.

Suatu kali, Hati itu berpikir untuk bicara tentang sebuah keadaan. Keadaan seperti benteng yang membuat Hati itu begitu takut untuk bicara. Benteng yang memberi jarak dan membuat Pelangi dan Hati itu terpisah sekian lama. Tetapi, ketika Hati itu ingin mulai bicara, Logika pun tak ingin kalah dan menyusup bak duri dalam daging yang turut membentengi Hati itu. “Apa maumu Hati kecil? Apakah kamu ingin mengubah keadaan ini menjadi seperti yang kamu inginkan? Jangan sembrono. Itu bukan kuasamu, melainkan kuasa – Nya yang bekerja. Dia yang jauh disana lebih tahu apa yang kamu butuhkan bukan apa yang kamu inginkan. Mulailah berpikir dewasa, jangan egois dan menuruti nafsumu. Dia rencanakan hidupmu jauh lebih indah dari apa yang kamu bayangkan. Dia tahu waktu yang tepat, Dia sudah berjanji, karena itu bersabarlah untuk menanti waktu itu!! Yakinlah, akan tiba saatnya.”

Hati itu hanya bisa terdiam ketika Logika berbicara. Hati itu menangis. Menangis karena begitu bodoh ingin mendahului kuasa – Nya. “Sabar...” hal yang dapat dilakukan oleh Hati itu.

Detik berlalu, menit berlalu, jam, hari, bulan dan tahun juga berlalu. Bahkan begitu cepat semua berlalu. Hati itu mulai kembali mengumpulkan kepingan – kepingan yang telah hancur. Hati itu kini telah bangkit. Hati itu telah cukup kuat. Hati itu pun masih terus mencoba bersabar. Hati itu mencoba meyakini kuasa yang dijanjikan. Semua tidak semudah apa yang diinginkan. Hati itu terus berproses, satu per satu keindahan lain pun datang menghampiri. Bulan, Bintang, dan bahkan Matahari yang mencoba mengusik keindahan Pelangi dalam Hati itu, tidak mampu menggoyahkan keyakinan Hati itu. Hati itu tetap bertahan. Tidak peduli dengan kilauan Bintang yang gemerlap, tidak peduli dengan cahaya Bulan yang penuh keteduhan, dan tidak juga peduli pada Matahari yang tiada lelah memberi.

Hati itu tetap yakin pada sebuah janji. Janji yang mungkin telah terlupakan oleh Pelangi. Hati itu akan terus menunggu. Menunggu sampai Pelangi itu datang. Menjemput Hati itu bersama mimpi mereka. Pelangiku, mungkin Hati itu tidak pernah tahu kapan kuasa – Nya akan bekerja. Hati itu hanya ingin menyampaikan sebuah kalimat sederhana, “Pelangi berpengharapan yang kamu janjikan dulu, masihkah dapat aku nikmati keindahannya? Ataukah semua telah berubah, dan pengharapan itu tak lagi ada??”

Sore tadi, Hati itu kembali menangis. Tiba – tiba kesesakan menghimpit, nafasnya tersendat. Hati itu terlihat begitu kecewa, Hati itu kembali terluka. Hati itu merasa kehilangan, lagi. Pelangi itu tidak kunjung datang. Sore tadi adalah hujan yang ke – 999, hujan yang membuat Hati itu berharap dapat melihat Pelangi yang dinantinya. Namun, Pelangi itu entah berada dimana. Hati itu tersudut, terpojok dalam dimensi ruang yang membawanya melamun ke tragedi klasik itu. Andaikan semua yang berlalu dapat aku kembalikan ke keadaan normal lagi, bukan yang seperti ini, terhalang tembok yang membentengi kita. Hati itu kembali tersadar, Hati itu tertawa. Sebuah situasi yang menjijikkan, yang membuat Hati itu tertawa dalam sebuah topeng yang penuh kepalsuan.

Hati itu bangun dari lamunannya. Hati itu telah lelah, Hati itu mencoba melupakan harapannya, Pelangiku. Hati itu ingin mewujudkan mimpi mereka, meskipun kini Hati itu sendirian. Hati itu yakin, suatu saat jika Dia yang mempunyai kuasa mengatakan ‘iya’ maka semua akan menjadi sempurna. Hati itu sadar bahwa untuk mencapai kesempurnaan itu tidaklah mudah. Hati itu juga tidak mampu membohongi aku. Ia tidak pernah benar- benar melupakan sang Pelangi. Hati itu justru menyimpan harapan bersama sang Pelangiku dalam relung yang terdalam. Hati itu mungkin perlahan menghilang, Hati itu mungkin juga mulai menjauh. Tetapi, Pelangiku harus tahu bahwa Hati itu hanya tidak ingin melihat Pelangiku gagal, Hati itu ingin melihat Pelangi berbahagia meski dari kejauhan. Hati itu memberikan kebebasan yang Pelangi inginkan. Hati itu selalu berdoa yang terbaik untuk sang Pelangi, meski perih menyelimuti Hati itu, tapi Hati itu tetap mencoba bertahan.

Dalam pekatnya malam, Hati itu berjalan tertatih, menyusuri tiap jalan yang pernah Hati itu lewati bersama sang Pelangi. Seperti memutar kembali ingatan dimasa lalu, satu per satu adegan bak drama pertunjukan terlintas dibenaknya. Terduduk lemas disebuah kursi kayu dekat taman, Hati itu melihat setangkai mawar putih yang teronggok diantara sampah dedaunan. Kala itu musim kemarau, dedaunan seolah tak punya daya berguguran memenuhi seisi taman itu. Hati itu mengambil mawar putih itu dan memandang penuh tanya. Siapa yang membuangnya? Tidak ada harganya kah mawar ini hingga pemiliknya membuangnya begitu saja? Hati itu menyimpan mawar putih itu pada sebuah kotak kecil. Kotak itu berisi tentang harapan, cita – cita, dan mimpi Hati itu. Hati itu mulai merasa lelah dan terlelap bersama nikmatnya keindahan senja.

Tiba – tiba hembusan angin membangunkan Hati itu. Sebuah keyakinan baru kembali menohoknya. Hati itu ingin pasrah, untuk semua yang Hati itu alami. Biarlah semua tersimpan dengan manis dalam relungku, aku tak ingin mengusikmu lagi Pelangiku. Aku bahagia, aku bahagia.. sekali lagi aku bahagia. Aku tidak bohong, aku benar – benar bahagia. Aku yakin, tulang rusuk dan pemiliknya tidak akan pernah tertukar. Jika kamu memang tulang rusukku, Pelangiku, pasti saatnya akan tiba. Bersabarlah. Kini biarkan aku berlalu darimu, ucapkan ‘Selamat jalan untukku dan untukmu.’ Hati itu berjalan dengan mantap, menatap lurus ke depan dan menghampiriku lagi. “Hei.. Kenapa gadis kecilku termenung disini? Apa yang kamu nanti? Sesuatu yang tidak pasti? Lupakan itu, Hati kecilmu telah kembali. Hati kecilmu akan selalu ada untukmu. Kini biarkan Hati kecilmu ini masuk dan memberi warna dalam hidupmu, tertawa, terluka, menangis, semua akan tetap baik – baik saja. Aku setia mendampingimu gadis kecilku, bersama kita selamanya, bersama kita akan menunggu sang Pelangi. Menanti keindahannya, menanti indah warnanya pada waktu yang tepat.” Aku tersenyum manis dan memeluk Hati kecilku erat – erat, tak ingin kehilangan Hati kecilku untuk kedua kalinya, tak ingin melepaskannya pada Pelangi – Pelangi lain yang mungkin akan menghancurkan Hati kecilku lagi. Aku dan Hati kecilku tertawa lepas, melepas semua penat dan beban. Aku dan Hati kecilku saling menatap penuh cinta, tersirat hasrat penuh keteduhan, langit biru kala itu turut menambah semaraknya aku dan Hati kecilku.....

By: Natalia Setyawati